Analisis Bab 3-4 Novel Bumi Manusia
Table of Content
Stratifikasi sosial di masa Hindia Belanda
Hubungan antartokoh di dalam novel yang terpengaruhi oleh perbedaan kasta antara pribumi dan Belanda
Alasan Mas Pram menghadirkan persahabatan antara Minke dan Jean Marais
Alasan Annelies bangga menjadi pribumi dan Robert Mellema yang ingin menjadi Eropa
Mengapa Penulis seringkali menyebut sebuah kota dengan singkatan B., J., atau singkatan lainnya?
Refleksi
Stratifikasi Sosial di Masa Hindia Belanda
Dari novel, Minke diposisikan sebagai pribumi yang nantinya diketahui Minke adalah putra dari Bupati Surabaya. Dengan begitu Minke memiliki posisi yang agak lebih tinggi dari pribumi pada umumnya yang menempati kasta terendah dalam sistem sosial pada masa kolonial Belanda.
Sementara itu, Annelies, Robert Mellema, dan Robert Suurhof adalah Indo. Mereka berdarah campuran Indonesia dan Belanda. Tingkatan ini berada di atas pribumi, hal ini ditegaskan pada bab-bab akhir, tepatnya saat persidangan untuk memperebutkan Annelies antara Minke dan Maurits Mellema.
Sidang memang menjadi agak kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim. Nyai dipaksa mengakui bah- wa Annelies bukan Pribumi, tapi Indo. Dan suara jaksa yang menggeledek murka itu: Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripa- da kau! Minke Pribumi, sekali pun punya forum privilegiatum, artinya lebih tinggi dari Nyai, kau! Forum Minke setiap saat bisa dibatalkan. Tapi Juffrouw Annelies tetap lebih tinggi daripada Pribumi.
Posisi tertinggi ditempati oleh Eropa murni alias Totok. Mereka memiliki hak politik besar dan statusnya diistemewakan oleh hukum. Jumlah mereka diantara penduduk Hindia Belanda adalah paling sedikit, hanya sekitar 2% atau 200an ribu jiwa.
Sehingga piramida kelas sosial di dalam Novel Bumi Manusia adalah:
Orang Eropa: Jean Marais, Herman Mellema,
Orang Indo: May Marais, Annelies, Robert Suurhof, Robert Mellema
Pribumi (forum privigeliatum): Minke
Pribumi: Nyai
Hubungan antartokoh di dalam novel yang terpengaruhi oleh perbedaan kasta antara pribumi dan Belanda
Pribumi seperti Minke bisa berteman baik dengan orang Eropa seperti Jean Marais. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pembatasan di dalam kasta masa kolonial, hubungan antara kasta tinggi dengan kasta rendah masih dapat terjalin dengan harmonis.
Lebih-lebih lagi, Jean Marais memberi nasihat kepada Minke terkait tentang hal percintaan, sesuatu yang umumnya hanya bisa berlangsung dengan efektif apabila kedua orang sudah menjadi sahabat lama yang bisa dipercaya. Dari latar belakang Jean Marais, diketahui bahwa May, anak Jean Marais merupakan anak yang ia miliki dari seorang pejuang Aceh. Ia jatuh cinta kepada pejuang Aceh tersebut hingga akhirnya memiliki anak, namun pejuang tersebut akhirnya terbunuh oleh sesamanya sendiri karena sudah dianggap kafir dengan berkhianat.
Bukannya semakin memusuhi pribumi, Jean Marais justru mengharagai pribumi. Ia kagum dengan semangat juang pribumi yang tetap ada sekalipun musuh yang mereka hadapi memiliki superioritas teknologi.
Latar belakang Jean Marais hingga menjadi teman baik Minke ini mengindikasikan dua hal: pertama, Mas Pram ingin menyampaikan bahwa tidak semua orang Eropa setuju dengan stereotip pribumi dan sistem kasta yang menyertainya. Dua, Mas Pram ingin memosisikan bahwa masih ada orang Eropa yang berpihak kepada pribumi.
Selain Jean Marais, hubungan antarkasta yang harmonis juga terbentuk antara Minke yang seorang pribumi dengan Annelies yang seorang Indo. Hubungan ini seperti setingkat dari hubungan Jean Marais dengan Minke. Dalam hal ini, bukan hanya orang yang memiliki darah Eropa berteman baik dengan Pribumi. Malahan, orang berdarah Eropa jatuh cinta kepada seorang Pribumi.
Namun, ada juga hubungan antarkasta yang berjalan kurang baik, sesuai dengan konotasi yang ada dari adanya sistem kasta itu sendiri. Hal itu terjadi antara Nyai dengan Robert Mellema dan Nyai dengan Herman Mellema. Hubungan-hubungan tersebut umumnya memburuk dikarenakan satu tokoh menekankan perbedaan kasta terhadap tokoh lain.
Alasan Mas Pram menghadirkan persahabatan antara Minke dan Jean Marais
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ada kemungkinan hubungan antara Minke dan Jean Marais dibentuk sedemikian rupa untuk bisa menyampaikan opini dari Mas Pram sendiri. Mas Pram ingin menyampaikan dampak dari sistem kasta dan kolonialisme itu sendiri belum tentu selalu memunculkan permusuhan antara orang yang dijajah dan orang yang menjajah. Sebaliknya, Jean Marais justru menolak sistem kasta pada kolonialisme dan justru berempati dengan pihak yang dijajah yakni pribumi.
Alasan Annelies bangga menjadi pribumi dan Robert Mellema yang ingin menjadi Eropa
Hal ini dikarenakan perbedaan interpretasi antara Annelies dan Robert Mellema dalam menanggapi sistem kasta di Hindia Belanda. Annelies, melihat ibunya sebagai sosok yang menjadi panutannya. Ia menyadari bahwa ibunya adalah seorang pribumi namun bukannya memosisikan definisi pribumi pada ibunya, ia justru mendefinisikan pribumi berdasarkan pandangannya terhadap ibunya. Sehingga, ia menganggap menjadi pribumi pun tidak buruk karena itu artinya ia bisa menjadi sederajat dengan ibunya.
Sementara itu, Robert Suurhof berpikir sebaliknya. Melihat sistem kasta, ia berambisi untuk memihak pada kasta yang lebih tinggi yakni orang Eropa. Ia menganggap pribumi sesuai dengan definisi sesungguhnya yakni sebagai kasta terendah. Sehingga, hasilnya berbanding terbalik dengan Annelies, Robert ingin menjadi Eropa seperti ayahnya dan memandang rendah ibunya sendiri yang merupakan seorang pribumi.
Pertanyaan yang belum bisa dijawab
Mengapa Penulis seringkali menyebut sebuah kota dengan singkatan B., J., atau singkatan lainnya?
Mengapa Jean Marais enggan mempelajari Bahasa Belanda?
Refleksi
Bab 3-4 dari Novel Bumi Manusia berfokus pada pengembangan karakter Annelies, Nyai, dan Jean Marais. Dari bab ini kita bisa mengetahui bagaimana pengalaman yang telah dilalui Jean Marais hingga membentuknya menjadi seperti saat ini. Dari Jean Marais kita bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang seharusnya menjadi musuh belum tentu bertindak seperti musuh, ia bisa saja tidak setuju dengan kebijakan di pihaknya bahkan berempati kepada lawannya.
Dari Jean Marais juga kita bisa melihat pandangan Jean Marais tentang cinta yang pada akhirnya mendorong Minke untuk menemui Annelies.
Penulis semakin menunjukkan sisi kelemahan dari Annelies yang sebenarnya tidak mampu berbuat apa-apa tanpa ibunya, dengan kata lain, manja. Penulis juga semakin menajamkan sisi romantis antara Minke dan Annelies.
Di sisi lain, penggambaran Nyai sebagai wanita gundik yang terpelajar menjadi semakin tegas. Pada bab 4 diketahui bahwa Nyai otodidak, ia tidak pernah mempelajari semua ilmu yang dibawanya saat ini melalui jalur formal. Dalam beberapa dialog juga, Nyai menunjukkan jawaban yang terkesan seperti orang yang benar-benar terpelajar.
"Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima."
Sampai pada akhir bab 4 saya menemui beberapa hal aneh yang belum pernah saya temui dari novel-novel yang saya baca sebelumnya. Seperti gaya penulisan Mas Pram, ia menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga ia seperti benar-benar memerankan sosok Minke. Caranya bercerita seperti menceritakan biografinya sendiri.
Kemudian sosok Minke sebagai Main Character menurut saya memiliki sifat yang agak menjengkelkan. Meskipun terhitung cerdas jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Sifatnya yang benar-benar labil dan suka menghitam putihkan sesuatu. Saya pikir sifat itu terbentuk dari sistem pendidikan yang diikuti oleh Minke. Ia mempelajari sebuah pelajaran sekaligus mengadopsi pandangan si pengajar terhadap apa yang diajarkan. Misalnya tentang modernisasi, Minke memandang modern sebagai tujuan utama, ia menempatkannya sebagai wilayah putih lalu memandang kebudayaannya sendiri sebagai wilayah hitam yang menghambat modernisasi.
Lalu tentang hubungan antara Minke dan Annelies yang cenderung dipaksakan. Agak kurang logis saat orang baru saja bertemu kemudian keduanya langsung saling suka, salah satu orang menciumnya, dan orang tua dari anaknya yang dicium menyetujui tindakan orang tadi. Alur seperti ini saya rasa kurang masuk akal jika dibandingkan dengan kisah romantis pada umumnya, sehingga rasanya agak 'memaksa'.
Ada juga hal yang aneh dimana di dalam cerita, dimana orang Eropa terkesan tidak ditampakkan sebagai penjajah melainkan sebagai orang yang ikut tinggal di Hindia Belanda. Meskipun terdapat penekanan pada sistem kasta, tidak ada yang menyinggung tentang kolonialisme itu sendiri. Bagian itulah yang menjadi titik yang saya apresiasi, dimana pada masa itu digambarkan bagaimana pandangan orang Indonesia yang masih berpikir pragmatis dan sederhana dalama memandang orang Eropa. Pada masa ini baru terdapat bibit-bibit nasionalisme, nasionalisme itu sendiri belum muncul sehingga kolonialisme tidak dapat diidentifikasikan dengan benar.
Hingga di titik ini, saya masih belum bisa memahami mengapa novel ini bisa dipandang menjadi salah satu novel terbaik di Indonesia.
コメント