Dari novel yang melegenda yang masih relevan hingga saat ini
Kualitas pendidikan Indonesia meningkat seiring dengan semakin berkembangnya teknologi. Namun pola pikir pelajar Indonesia masih belum siap terhadap perkembangan tersebut. Sering kita jumpai peserta didik yang lebih suka menggunakan jam kosong untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan daripada menggunakannya untuk belajar materi yang ditinggalkan. Kurangnya semangat, niat, atau rasa keingintahuan untuk belajar atau mempelajari pengetahuan baru disebut dengan Kemalasan Intelektual atau Intellectual Laziness.
Kemalasan Intelektual umumnya disebabkan oleh pengondisian dari sistem pendidikan yang dijalani oleh peserta didiknya. Beberapa faktor diantaranya adalah kurikulum yang patokan nilainya terpolarisasi ke tugas dan ujian, sehingga membolehkan siswanya untuk belajar hanya agar mendapat nilai ujian yang tinggi. Ditambah lagi soal-soal ujian seolah hanya untuk menguji tingkat pemahaman dan ingatan siswa terhadap materi yang semuanya sudah tersedia di buku pendamping. Sehingga ilmu yang diajarkan hakikatnya bukan lagi sebagai ilmu secara utuh melainkan hanya alat untuk mendapatkan nilai tinggi. Pada akhirnya, rasa ingin tahu siswa seolah padam karena dianggap tidak relevan dengan sistem yang berlaku.
Kita bisa melihat dampak dari kemalasan intelektual pada pencapaian Indonesia akhir-akhir ini. Berdasarkan studi yang berjudul “The World’s most Literate Nations”, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Ditambah lagi, berdasarkan survei yang dilakukan oleh PISA pada tahun 2019, Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 70 negara. Skor PISA Indonesia sendiri berkisar pada angka 400-370. Padahal, skor 410 adalah batas bawah penguasaan pengetahuan dasar seperti sains, membaca, dan matematika. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat di masa sekarang berbagai macam literatur sudah banyak tersedia di perpustakaan dan bisa diakses dalam bentuk digital di internet.
Ditambah lagi sistem pembelajaran daring semakin menambah tingkat kemalasan intelektual pelajar Indonesia. Kemudian didorong oleh minimnya pengawasan dalam belajar, rendahnya interaksi antar guru dengan siswa dan siswa dengan siswa lainnya, serta keterbatasan akses internet. (4) Kondisi ini memunculkan distraksi dalam kegiatan belajar yang mengakibatkan pelajaran tidak terserap dengan baik. Pada akhirnya, jika kondisi ini terus berlangsung maka siswa hanya akan benar-benar belajar pada saat sebelum ujian. Dengan kata lain, belajar hanya untuk ujian, salah satu pengondisian menuju kemalasan intelektual.
Kemalasan intelektual merupakan hal yang berbahaya apabila masih tertanam di pikiran para pelajar hingga mereka lulus karena dikhawatirkan pelajar-pelajar tersebut akan lulus hanya dengan gelar namun tanpa kemampuan riset yang mumpuni. Oleh karena itu, sifat seperti ini harus segera dieliminasi. Solusi yang sudah pasti adalah merubah metode pembelajaran yang ada.
Lawan dari kemalasan intelektual adalah ketekunan intelektual. Jika kemalasan intelektual muncul dari pengondisian belajar yang musiman, maka kita bisa mencetuskan ketekunan intelektual dari pengondisian belajar yang teratur. Pembelajaran yang teratur tidak selalu berarti menambah jam belajar, hal ini juga bisa berarti meningkatkan efektivitas dan efisiensi.
Salah satu bentuk dari pembelajaran tersebut bisa kita contoh dari sebuah lembaga pendidikan yang diceritakan dalam salah satu novel terbaik yang pernah ditulis oleh anak bangsa. Novel tersebut berjudul “Negeri 5 Menara” karangan Ahmad Fuadi. Buku ini mengisahkan kehidupan tokoh Alif di Pondok Madani yang diadaptasi dari pengalaman pribadi penulis selama menjalani kehidupan di Pondok Gontor. Hal yang menarik dari buku ini adalah metode-metode pendidikan yang unik namun efektif. Beberapa di antaranya adalah metode direct method, pendidikan 24 jam, dan musim ujian.
Direct method adalah cara cepat untuk memahami dan mempraktekkan bahasa yang masih asing di telinga kita. Metode ini pertama kali diterapkan oleh tokoh Ustad Salman. Pertama-tama ia mengucapkan sebuah kalimat dalam bahasa Arab kemudian mengajak para siswa untuk mengulangi kalimat tersebut berulang-ulang tanpa memberitahukan artinya. Siswa akan diajak untuk meraba-raba makna dari kalimat tersebut. Setelah dirasa semua orang sudah bisa mengucapkan kalimat tersebut dengan baik, barulah Ustad Salman menuliskan artinya di papan tulis. Tidak hanya itu, Ia akan meminta para siswa satu per satu untuk mengulangi kalimat beserta artinya. Meskipun jumlah kalimat yang dipelajari setiap harinya tidak terlalu banyak, cara ini sangat efektif untuk menginternalisasi dan membangun refleks terhadap bahasa baru.
”Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu agama…” ucap Burhan, tokoh yang pertama kali mengenalkan Alif kepada lingkungan Pondok Madani. Pendidikan 24 jam merupakan kiasan bagi sistem penyaluran ilmu yang terjadi setiap saat di Pondok Madani. Pertukaran ilmu terjadi di mana saja dan kapan saja serta ilmu yang disalurkan tidak terbatas pada bidang akademik. Kondisi ini akan menciptakan atmosfer belajar di setiap waktu yang mana jika diterapkan secara terus-menerus akan membentuk rasa keharusan untuk belajar dalam alam bawah sadar para siswa. Dengan kata lain, membuat siswa merasa aneh apabila mereka tidak belajar.
Terakhir, musim ujian. Berbeda dengan sekolah pada umumnya yang menerapkan ujian hanya untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi yang sudah diajarkan. Pondok Madani memandang ujian sebagai langkah yang paling mulia dalam belajar yakni mengikat ilmu. Oleh karenanya, ujian disambut dengan meriah layaknya festival. Ujian dipandang bukan hanya sebagai penentu kelulusan melainkan salah satu cara usaha untuk mengabdi kepada agama. Hasilnya, para peserta ujian ke depannya akan menjadi lebih menghargai ilmu.
Apabila ketiga metode tersebut diterapkan di pendidikan Indonesia dengan seutuhnya, ada kemungkinan akan terbentuk sebuah cara pandang yang baru terhadap ilmu. Ilmu akan menjadi lebih dihargai. Kemudian sebagai efek domino, siswa akan menjadi semakin ganas dalam berburu ilmu, akan muncul lebih banyak pertanyaan, dan proses pencariannya akan semakin massif. Tingkat literasi akan meningkat dan tentunya kemalasan intelektual akan berkurang.
Selain menghapus kemalasan intelektual, pengondisian belajar yang teratur juga merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4 yaitu Quality Education atau Pendidikan Berkualitas. Lebih tepatnya menyasar target ke 4.6 yakni Universal Literacy and Numeracy atau Literasi dan Numerasi Universal. Inti dari target tersebut adalah meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi pelajar di dunia. Kedua kemampuan dasar itulah yang paling diperlukan dalam suksesi keenam belas SDGs lainnya. Mengingat tingkat literasi Indonesia yang masih rendah, metode ini perlu diterapkan.
Tentunya akan sulit untuk menerapkan metode ini secara utuh mengingat kemampuan pelajar Indonesia yang berbeda. Ditambah lagi, penerapan yang mendadak dapat menyebabkan shock effect yang justru dapat mengganggu pembelajaran. Sehingga metode ini perlu diterapkan secara perlahan. Kemudian modifikasi minor juga dapat dilakukan dengan syarat tidak menghilangkan esensi pengondisian belajar secara teratur.
Esensi dari metode ini adalah pengondisian lingkungan yang mendukung siswa untuk terus belajar dimanapun dan kapanpun. Pengondisian dalam jangka panjang akan membentuk kebiasaan untuk belajar yang akan tertanam hingga ke alam bawah sadar dengan kata lain menjadi standar dalam kehidupan. Sehingga pelajar akan merasakan sensasi yang aneh apabila pada suatu masa mereka sama sekali tidak mempelajari sesuatu. Pola pikir sedemikian rupa akan mendukung munculnya rasa ingin tahu dan daya literasi yang tinggi.
Pada dasarnya, pemerintah belum tentu akan langsung menyetujui penerapan pengondisian ini. Sedangkan urgensi dari peningkatan literasi dan penghapusan kemalasan intelektual berada di tingkat tinggi. Oleh karenanya impelementasinya bisa dilakukan dari diri sendiri atau kelompok kecil. Menerapkan direct method untuk mempelajari bahasa-bahasa baru, belajar 24 jam dengan membuat refleksi dan evaluasi setiap harinya, memperbanyak literatur, serta membuat jadwal latihan ulangan sendiri.
Inti dari metode ini adalah membangun sebuah kebiasaan untuk terus belajar sehingga
Ada banyak jalan menuju Roma. Permasalahan kemalasan intelektual dapat diselesaikan dengan berbagai cara dan bercermin pada Pondok Madani di dalam Novel “Negeri 5 Menara” bisa menjadi salah satu caranya. Tentunya kita tidak bisa berpatok pada satu solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah. Cara-cara baru perlu dikembangkan dan yang terpenting harus bisa diterapkan. Kita sebagai pelajar Indonesia perlu turut serta dalam improvisasi ini. Memulai dari diri sendiri merupakan satu langkah kecil untuk mengubah dunia menuju yang lebih baik.
Referensi
Comments