A spectacular novel about religion values
Novel ‘Negeri 5 Menara’ karya Ahmad Fuadi mungkin bisa dijajarkan sebagai karya anak bangsa terbaik sepanjang masa. Sebuah novelisasi pengalaman sang penulis semasa menjalani kehidupan di Pondok Gontor yang bertemakan pendidikan, budaya, dan agama. Dari awal hingga akhir kita disuguhi dengan sebuah kisah sederhana namun begitu inspiratif. Buku ini seolah menjadi refleksi bagi para pelajar untuk melihat dirinya sendiri, membandingkan perjuangannya dengan perjuangan Alif.
Seperti tertulis di halaman awal novel, kisah ini merupakan novelisasi pengalaman penulis. Berlatar utama di sebuah Pondok Madani yang merupakan pondok fiktif untuk menggambarkan tempat aslinya yakni Pondok Gontor. Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dengan Alif sebagai tokoh utamanya. Sahibul Menara yang terdiri dari Alif sendiri, Said, Baso, Dulmajid, Atang, dan Raja menjadi tokoh sentral.
Para Sahibul Menara bisa digambarkan dalam satu kalimat untuk setiap orang. Alif, seorang plin-plan yang ambisius dan beruntung. Said, pemimpin yang kuat dan berani. Atang, sosok supel yang menyenangkan. Dulmajid seorang kutu buku yang jujur dan setiakawan. Baso, jenius Qur’an dan agama islam. Raja Lubis sang penggila Bahasa Inggris.
Novel ini secara keseluruhan mengusung alur campuran. Bab pertama di buku ini menceritakan tokoh misterius yang bekerja di Washington D.C. lalu ia ditelefon oleh seorang misterius lain yang mengajaknya bertemu, dan cerita mundur jauh ke belakang. Kita disuguhi kisah Alif yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA namun seolah dihadang oleh ibunya yang ingin Alif mempelajari agama lebih dalam. Tidak disangka, Alif mengambil keputusan tidak terduga. Ia memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani, sekolah yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Akhirnya, Alif mendaftar ke Pondok Madani. Beruntungnya ia berhasil lolos dan kisah pun dimulai. Kisah terus berlanjut, suka duka dan hal-hal menarik yang dialami oleh Alif hingga kisah berakhir di pertemuan sebagian sahibul menara di London, Inggris. Semuanya dikisahkan dengan sangat komunikatif menggunakan tata bahasa PUEBI dan beberapa frasa asing yang disertai terjemahannya. Percakapan yang ditampilkan juga disampaikan dengan jujur, menggunakan model percakapan sehari-hari.
Ada tiga nilai yang paling menonjol dari novel ini. Nilai Pendidikan, bagaimana ilmu disalurkan dan diikat di Pondok Madani secara tidak biasa menjadi pewarna paling mencolok dalam cerita ini. Bahasa tidak diajarkan menggunakan kurikulum sebagaiamana halnya sekolah pada umumnya, melainkan langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dikenal sebagai “direct method”.
Ilmu islam yang membentang dalam Tarikh, Hadist, Seni, hingga Tafsir disampaikan oleh para Ustadz dengan caranya masing-masing yang mungkin jarang kita temui di sekolah-sekolah pada umumnya. Ilmu bukan hanya diserap melainkan juga diikat, Pondok Madani menerapkan sesuatu yang unik yakni “Musim Ujian”. Musim ujian adalah semacam pengondisian santri Pondok Madani untuk mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk mempersiapkan ujian. Siapapun yang membaca buku ini akan dibuat takjub dengan santri-santri perjuangan Pondok Madani. Inilah yang menjadi keunikan dari kisah ini, ilmu benar-benar dihargai dan dijunjung tinggi di tempat ini.
Kisah ini sarat dengan bumbu agama, nilai agama menjadi nilai dasar yang membungkus roman ini. Mulai dari latar belakang Alif yang dibesarkan oleh ibu yang sangat taat kepada agama, kentalnya unsur agama dalam kehidupan sehari-hari di Pondok Madani, dan bagaimana agama diajarkan agar bisa dipegang teguh selamanya. Bahkan, meskipun pada akhirnya mereka tumbuh besar dan melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, agama yang mereka pegang menjadi semakin teguh. Adalah hal yang wajar untuk mengatur suasana yang penuh dengan atmosfer agama di kisah yang berlatar di sebuah pondok.
Nilai budaya menjadi nilai terakhir yang paling menonjol. Alif dengan kebudayaan Minang-nya termasuk budaya marosok, pemilihan nama bayi, dan kulinernya. Said dengan latar belakang keturunan Arab yang menurutnya mengakar dari Nabi Muhammad SAW. Bahasa-bahasa daerah maupun asing yang diselipkan dalam beberapa kesempatan. Serta yang terakhir kebudayaan islam yang diaplikasikan di kehidupan Pondok Madani.
Kompleksnya unsur-unsur intrisik tersebut membuat Novel “Negeri 5 Menara” bisa dianalisis melalui berbagai pendekatan sastra diantaranya sosiologi sastra, struktural, psikologi, dan mimetik. Secara sosiologi sastra, novel ini mencerminkan kehidupan masyarakat Minang dan Pondok Madani. Mengingat buku ini pada dasarnya merupakan novelisasi dari pengalaman penulis sehingga deskripsi dan narasi secara gamblang menampilkan sisi sosiologi dari cerita ini. Contohnya adalah Budaya Marosok dari Minang dalam melakukan jual beli hewan kurban serta religiusisme dan sikap taat pada hukum dari masyarakat Pondok Madani.
Secara struktural, Negeri 5 Menara memiliki garis alur yang tidak teratur. Tidak ditemukan adanya rangkaian konflik yang membangun klimaks dan tidak adanya resolusi yang memberi kepastian nasib dari konflik. Antara satu bab dengan bab lainnya berdiri sendiri, masing-masing bab mengandung satu periode pengalaman yang memiliki konflik dan resolusi tersendiri. Pola ini membentuk sebuah keserasian abstrak dimana kita tidak diajak untuk menyaksikan rentetan kausal yang bermuara ke sebuah konflik, melainkan ikut merasakan konstruksi pengalaman yang bermacam-macam hingga membentuk sebuah bangunan pengalaman yang tidak terlupakan.
Lalu secara psikologis, buku ini berhasil membentuk koneksi mental antara Alif dan pembaca. Penggunaan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama memang memiliki keunggulan dalam memainkan emosi para pembacanya. Bisa dilihat dari bagaimana penulis menggambarkan konflik batin yang dialami Alif saat mengurung diri di kamar dan saat ia mulai galau untuk keluar dari Pondok Madani. Selain itu, gaya bahasa yang canggung dan malu-malu saat membahas tentang hubungan tokoh Alif dengan Sarah pada halaman 247-280 benar-benar pas sehingga sebagian pembaca mungkin juga tersenyum dan ikut merasakan rasa canggung saat membaca bagian tersebut.
Terakhir, menggunakan pendekatan mimetik, unsur-unsur karya sastra ini memiliki hubungan yang kuat dengan kenyataan di luar. Konsep Pondok Madani dan seluruh lika-liku di dalannya berasal dari pengalaman Ahmad Fuadi semasa bersekolah di Pondok Gontor di Ponorogo. Konsep dari sahibul menara juga telah dituliskan oleh beliau di awal cerita, yakni teman-temannya atau gabungan sifat dari teman-temannya yang diwujudkan menjadi sebuah tokoh.
Selain melalui pendekatan-pendekatan tersebut, kita juga bisa mengamati kover dan judul yang dipilih untuk novel ini. “Negeri 5 Menara” judulnya dan memiliki kover depan berupa gambar 5 menara yakni Monas di Indonesia, Big Ben di Inggris, Obelisk Washington di Amerika Serikat, Menara Al-Azhar di Mesir, dan Menara Masjidil Haram di Arab Saudi. Komposisi ini dipilih berdasarkan akhir dari cerita dalam novel ini dimana keenam Sahibul Menara sukses mendatangi negara-negara yang mereka inginkan. Alif ke Amerika Serika, Raja ke Inggris, Atang Mesir, Baso Arab Saudi, serta Said dan Dulmajid yang masih mengabdi di Indonesia. Kemudian, konsep menara mengacu pada bab “Sahibul Menara” halaman 92 dimana Alif menceritakan obsesinya dengan menara.
Apabila dihubungkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), novel ini berkaitan dengan 3 tujuan utamanya. Pertama, SDG ke 3 yakni Good Health and Well Being dimana ditunjukkan dengan menonjolnya unsur olahraga seperti perlombaan olahraga setelah musim ujian dan jogging setiap pagi. Kedua, SDG ke 4, Quality Education yang dilihat dari tingginya kualitas pendidikan di Pondok Madani. Terakhir, SDG ke 17 yaitu Partnership for the goals, sisi kerja sama dan soliditas sangat kentara di novel ini. Mulai dari kerja sama dalam menangkap maling, belajar bersama untuk mempersiapkan musim ujian, kerja sama dalam perlombaan, dan class-six show.
Pada akhirnya, novel “Negeri 5 Menara” merupakan salah satu dulce et utile yang efektif. Membawakan puzzle-puzzle pengalaman penulis yang disampaikan secara menghibur namun juga mengandung amanat yang kuat dan menancap di pikiran pembacanya. Siapapun yang membaca buku ini, besar kemungkinan akan merasa puas dan mulai merefleksikan sikapnya terhadap agama yang ia anut.
Comments