Sejak kematian ibu dan kedua adiknya, ia tinggal sendirian di desa. Ayahnya merupakan seorang pekerja di kota dan setiap bulan ia selalu mendapat kiriman uang dan dua buku tebal yang masing-masing merupakan novel dan buku non-fiksi. Meskipun mendapatkan uang setiap bulannya, uang itu tetap saja masih kurang. Ia harus meninggalkan kesenangan di masa-masa remaja dan bekerja sebagai seorang penggembala.
Namun kini ia tidak lagi menggembala. Desa yang ia tinggali sudah berubah menjadi tahanan bagi para penjahat perang. Negaranya telah berhasil membantu meredam pemberontakan di negara tetangga dan para pemberontak dipindahkan ke desa ini untuk dipekerjakan secara paksa.
Pemberontak-pemberontak itu berwajah seram dan berbadan kekar. Menurut pemerintah, mereka adalah pemberontak yang telah berbuat kerusakan dan pantas mendapatkan hukuman yang layak.
Agra bekerja sebagai salah satu sipir di tahanan tersebut. Menurutnya bekerja sebagai seorang sipir dan menyalurkan hukuman yang layak merupakan tugas mulia seperti yang pernah ia baca di novel. Pekerjaan ini juga lebih menguntungkan dari menjadi penggembala.
Ia tidak pernah memperlakukan para tahanan dengan baik. Dengan topeng balaclava yang membuatnya menjadi seperti algojo yang tak kenal ampun, ia tidak segan untuk menyiksa para tahanan apabila mereka tidak melaksanakan tugas mereka dengan baik. Bahkan, ia pernah memukuli seorang tahanan hingga meninggal karena si tahanan bangun pagi tidak tepat waktu. Kemudian ia melaporkannya kepada atasannya dengan rasa bangga.
Lalu di saat para tahanan sedang beristirahat, ia menghabiskan waktunya untuk membaca novel dan belajar. Ia bercita-cita untuk menjadi menteri jenderal militer karena ambisinya untuk menumpas semua kejahatan di dunia ini.
Suatu hari seperti biasa ia menghirup aroma kompleks tahanan yang tidak segar. Namun, ia sedikit lebih bersemangat hari ini karena akan ada tahanan baru yang datang di desa ini. Tidak pernah ia sangka jika gelombang tahanan kali ini bukanlah orang-orang bertampang menyeramkan seperti sebelumnya, melainkan penduduk biasa. Bahkan ia juga melihat banyak perempuan dan anak-anak ada di barisan tahanan.
"Apa maksudnya ini, pak?" Begitu Agra bertanya kepada atasannya.
"Nampaknya, ideologi dari para pemberontak sudah masuk ke pikiran masyarakat biasa dan masyarakat juga mulai berbuat kerusakan. Sekarang kita tidak boleh lengah, para pemberontak itu tidak boleh dimaafkan." Jawab atasan Agra.
Jika itu sudah berkaitan dengan para perusak, maka mereka adalah penjahat perang. Agra tidak lagi mempertanyakannya dan ia juga sudah berencana untuk memperlakukan mereka dengan lebih buruk dari sebelumnya. Hati nurani Agra sudah mati. Ia mulai berani menodongkan senjata kepada para tahanan. Ia tidak segan menganiaya perempuan dan anak-anak. Korbannya juga semakin banyak tidak peduli berapapun usianya.
Sampai pada suatu ketika, para tahanan sedang beristirahat. Ia kembali membaca salah satu buku novel terbitan pemerintah di bawah remang-remang cahaya lampu bohlam berwarna kuning. Terdengar hingga ke dalam ruangannya, suara tangis seorang anak kecil.
Suara yang amat mengganggu. Jika ini terus dibiarkan maka ia tidak bisa membaca dengan baik dan kinerja tahanan lainnya pasti akan menurun karena tidak bisa beristirahat. Agra bangkit dan berjalan ke arah barak tahanan dengan tongkat baton di tangannya. Sesaat sebelum ia membuka pintu, ia mendengar bisik- bisik ibu dari sang anak yang mencoba menenangkan anaknya. Ia mengurungkan niatnya untuk menggebrak pintu dan duduk sembari mendengarkan informasi penting itu.
Dari balik pintu, Agra mendengar jelas bagaimana fakta sebenarnya dari para tahanan. Mereka bukan pemberontak, melainkan penduduk biasa yang menolak desanya dieksploitasi oleh militer negaranya. Mereka ditangkap dan segera diasingkan ke sini.
Ia juga akhirnya menyadari bahwa menumpas pemberontakan di negara tetangga sebenarnya hanya dalih dari invasi negaranya ke negara tersebut. Orang-orang yang ia hukum sebenarnya adalah orang-orang yang mencoba mempertahankan negara mereka dari penyerbu, bukan pemberontak yang jahat dan berbuat kerusakan.
Sembari duduk terdiam, Agra menarik keras-keras rambutnya. Ia menganggap dirinya-lah sosok yang jahat. Tidak mampu mendengar fakta yang lebih menyakitkan, ia kembali ke ruangannya. Di situlah, ia mulai memukuli dirinya sendiri dengan tongkat baton yang ia pegang. Di saat aliran darah mulai bisa ia rasakan di bibirnya, pada saat itulah ia berhenti memukul dan mulai mengarahkan pistol ke arah perutnya.
Sesaat sebelum menarik pelatuk, ia menyadari bahwa bunuh diri seperti ini merupakan sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa ia adalah penjahat. Bahkan ia akan mati sebagai penjahat.
Perenungan yang lama, ia menyimpulkan bahwa selama ini dia telah ditipu oleh pemerintah. Semua buku yang telah ia baca selama ini sebenarnya adalah sebuah panggung propaganda. Ia memang menjadi protagonis dalam dunia yang diciptakan oleh pemerintah, namun ia menjadi antagonis dalam dunia buatan Tuhan.
"Aku sudah terlanjur menjadi orang jahat. Tidak ada siapapun yang akan memaafkanku dan Tuhan tidak akan mengampuniku." Ucapnya. Air mata tidak bisa lagi mengalir, tergantikan oleh derasnya kucuran darah.
"Mungkin, memang akulah antagonis di dunia ini. Tidak, tidak, aku adalah antagonis di setiap dunia!
Baiklah, kamu mau aku menjadi antagonis? Hah?" Pikiran Agra mulai kacau. "Baik, aku akan menjadi antagonis, sekarang!"
Pada malam itu, ia mulai menyusun rencana penghancuran penjara ini. Ia mengatur secara rinci bagaimana para tahanan akan keluar dan menyiapkan semua sabotase yang diperlukan ke dalam buku hariannya. Agra juga bekerja sama dengan tahanan. Meskipun begitu, tujuan utamanya bukan membantu mereka, namun menghancurkan pemerintah sehancur- hancurnya. Tidak peduli jika ia harus melawan teman atau keluarganya sendiri. Dimulai dari malam itu, ia mulai menjalankan rencananya sedikit demi sedikit. Meskipun ia masih terlihat kejam seperti biasanya, di waktu-waktu tertentu ia akan mengajak para tahanan untuk bekerja sama.
Beberapa tahanan menolak karena tidak percaya dengan Agra. Alhasil, Agra mengintimidasi mereka dengan segala cara. Umumnya salah satu keluarga mereka disiksa di depan mereka atau si tahanan sendiri akan disiksa menggunakan metode- metode terlarang hingga mereka mau mengikuti perintah Agra. Semua kemajuan dari rencananya ia tulis pada buku hariannya.
Rencana Agra benar-benar tidak tercium sampai di Hari-H. Satu tahun persiapan yang matang akhirnya misi pembobolan penjara dimulai. Agra mulai menghabisi rekannya sendiri sembari menguasai ruang kendali. Dalam waktu satu jam, penjara telah berubah menjadi neraka. Tidak terhitung berapa jumlah korban yang telah jatuh dan berapa jumlah bangunan yang telah terbakar.
Agra sudah memutus saluran komunikasi sehingga kantor pusat militer tidak akan mengetahui berita ini hingga keesokan hari. Saat pihak keamanan terakhir sudah berhasil dihabisi, para tahanan mengangkat palu mereka dan segera berlari ke luar tembok penjara mengejar kebebasan.
Sebelum keadaan semakin kacau, Agra terlebih dahulu kabur dari penjara itu melalui jalur khusus yang ia ketahui lewat denah rahasia penjara ini. Agra yang telah melihat semuanya dari puncak bukit di sisi lain desa duduk dengan tersenyum. Ia menuliskan kalimat terakhir di dalam buku hariannya. Ia memberi judul pada buku itu dengan "Catatan Para Pemberontak". Lalu ia meneruskan perjalanannya ke utara.
Ia melanglang buana mengembara mengelilingi setiap negara di dunia. Di setiap tanah bangsa lain yang ia pijak di sana ia menyebarkan salinan dari buku yang ia tulis itu. Ia selalu berganti nama setiap ia berganti tempat singgah. Namun di setiap nama yang ia pakai, selalu ada kata "Tama" dan kover dari buku yang diterbitkan selalu dipenuhi dengan simbol palu yang terangkat sebagai simbol kebebasan.
Jejak Agra tidak pernah lagi bisa diikuti. Identitasnya tidak pernah diketahui dan ia selalu hilang ke dalam kegelapan setelah muncul sejenak di pusat peradaban. Meskipun ia tidak pernah lagi muncul. Namun, ambisinya telah terpenuhi dan pemerintah di negaranya dulu telah digulingkan.
Negara tetangga yang sebelumnya terjajah juga telah mendapatkan kemerdekaannya. Cerita pembebasan oleh Agra pada akhirnya menjadi sebuah legenda. Walaupun Agra sendiri dikutuk oleh pemerintah di banyak negara di dunia sebagai penjahat perang.
Cerita demi cerita tentang Agra dan bukunya terus mengalir dari mulut ke mulut. Tidak ada yang tahu dimana Agra sekarang dan apakah ia masih hidup ataupun tidak. Namun, kalimat "Tidak ada dunia yang bisa dilihat apabila tidak ada cukup jendela yang bisa dipasang" yang merupakan kalimat terakhir dari buku harian Agra menjadi kalimat yang akan terus hidup di generasi mendatang.
Juara 2 Lomba Cerpen Digicourse
Kommentare