Sedari duduk di bangku sekolah dasar, waktu sorenya selalu ia gunakan untuk bertamasya di tempat kerja ayahnya. Selagi sang ayah sedang menjalankan tugasnya sebagai ilmuwan, Cakra kecil seringkali melihat hewan-hewan aneh yang menggeliat di kaca transparan melalui benda ajaib yang kata ayahnya disebut sebagai 'mikroskop'. Ayahnya sudah mengatur alat itu lalu Cakra bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati dan menggambar segala yang ia lihat.
Sepulangnya dari laboratorium, ia selalu menunjukkan gambar yang ia buat kepada ibunya yang terduduk di atas kursi roda. Sang Ibu lumpuh setelah mengalami kecelakaan pascac kelahiran Cakra dan kini ia bergantung pada tombol analog yang terpasang di pegangan kursi sebelah kanan untuk bergerak. Cakra juga seringkali menyebutkan nama latin dari hewan yang ia lihat, meskipun cara pengucapannya tidak pernah mendekati benar. Ibunya hanya bisa tersenyum tipis dan mengucapkan satu kata: "bagus". Setelah itu, Cakra selalu masuk ke kamar dan menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku sains ataupun jurnal yang ia curi dari meja kerja ayahnya hingga tertidur. Seringkali ayahnya akan masuk ke kamar dan memakaikan Cakra sebuah selimut bergambar luar angkasa.
Hari-hari di sebuah keluarga kecil yang sederhana namun bahagia. Hingga pada suatu hari, sebuah kejadian yang tidak bisa ia pahami. Di saat ia berniat untuk pergi ke kamar mandi di tengah malam, entah mengapa ia melihat sang ibu menangis tidak berdaya dan ayahnya mengangkat beberapa koper ke depan pintu. Cakra mengejar ayahnya yang masih tertahan di depan pintu. Dua pertanyaan tentang "Mengapa ibu menangis?" dan "Ayah mau kemana?" hanya dijawab dengan "Ayah mau kerja dulu, kamu jaga ibu sama adik-adikmu sebentar ya." Sang ayah pergi dan menutup pintu tanpa menguncinya. Cakra polos tidak menaruh curiga tentang apapun pekerjaan ayahnya dan hanya penasaran dengan sesuatu yang membuat ibunya menagis. Dua pertanyaan yang sama ia tanyakan dan "Sekarang, kamu harus ngelindungin adik-adikmu" menjadi jawaban yang keluar sebelum sang ibu kembali ke kamar.
Dimulai dari titik tersebut, keluarga Cakra jatuh ke jurang kemiskinan. Ayah Cakra tidak lagi ada untuk menjadi pemberi nafkah bagi keluarga. Rumah dan semua kekayaan lainnya dijual sebagai tabungan untuk bertahan sementara waktu. Namun, dengan nol penghasilan, cepat atau lambat keluarga Cakra tetap akan musnah.
Cakra mau tidak mau harus belajar sekaligus bekerja. Pagi hingga siang ia jalani dengan belajar, siang hingga sore ia akan berjualan jajanan pasar milik tetangganya di perempatan jalan tidak jauh dari sekolahnya. Saat malam menyambut, ia membaca buku seperti yang ia lakukan saat masih ada ayahnya. Namun kini, ia lebih cepat terlelap karena penat yang menyerbu tanpa ampun. Di detik-detik akhir sebelum jiwa dan raga terpisah, ia selalu terpikir ucapan ayahnya untuk menjaga ibu dan adiknya, satu pertanyaan terselip: "Sampai kapan?"
Hari demi hari ia lalui, ia terus mencari pekerjaan baru entah agar menambah uang tabungan atau membeli kebutuhan baru. Waktu luang selalu ia gunakan untuk mengerjakan sesuatu, entah untuk bekerja atau mengganti waktu belajarnya yang tersita. Penderitaan yang terus berlanjut hingga ia duduk di bangku SMP.
Lama kelamaan, rasa sakit dan lelah untuk menghidupi keempat anggota keluarganya yang tersisa mulai memberatkan bahunya dan melemahkan kondisi fisiknya. Mulai dari saat itu pula, ia selalu menyembunyikan sakitnya di pagi hari dan di setiap malam ia akan menangis di meja belajarnya yang penuh dengan tumpukan buku. Bertanya-tanya, mengapa ia harus hidup di nasib sekejam ini. Kekecewaan telah membuat lelah batinnya melampaui lelah fisiknya. Seringkali tidak ada semangat yang tersisa untuk membaca dan Cakra langsung berbaring di atas selimut tipis bercorak luar angkasa, tempat dimana ia sekarang tidur. Ranjang nyaman itu sudah tidak ada lagi dan tidak ada benda yang bisa menghangatkan kakinya. Hari-hari yang indah telah berlalu dan ia tidak bisa mengulanginya lagi. Seberapapun lelah yang dirasakan, pikiran tentang hari esok selalu membuatnya tidak bisa tertidur dengan pulas.
Doa dan harapan yang pada akhirnya perlahan mulai terjawab. Suatu ketika Cakra mendapatkan sesi dengan guru konseling, sang guru mengungkapkan bahwa Cakra memiliki potensi namun tidak pernah memiliki mimpi. Hidupnya selama ini terus saja didedikasikan untuk mengabdi pada perintah orang tuanya. "Apa hal yang kamu yang terus kamu lakukan hingga saat ini dan kamu menikmatinya?" Tanya sang guru konseling. "Bekerja." Jawab Cakra apa adanya.
"Hal lain, sesuatu yang berasal dari lubuk hati terdalammu, sesuatu yang tetap akan kamu lakukan meskipun bencana terburuk menimpamu" Sang guru kembali bertanya.
"Hal lain? Mungkin buku sains!" Kini Cakra menjawabnya dengan antusias. Sang guru konseling berdiri dan mulai membongkar isi almari yang berada di belakangnya. Ia keluar dengan sebuah majalah yang memiliki ditulis dengan bahasa yang sangat aneh. "Mungkin kamu bisa mulai bermimpi untuk berangkat ke negeri Jepang. Tempat dimana teknologi dan orang-orang sepertimu sangat dihargai. Jika kamu punya niat ke sana, bapak akan bantu sebisa bapak"
Sebuah anggukan dan ucapan terimakasih dari Cakra menandakan batu pertama perjalanan panjangnya sebagai pemimpi telah diletakkan. Ia menemukan tujuan baru yang membuatnya bekerja dan belajar mati-matian. Lelah yang ia keluhkan tidak lagi nampak, tertutupi oleh impian tunggal. Tujuannya telah terukir: "Belajar hingga ke negeri Jepang." Hasil perjuangan yang mulai menunjukkan taringnya. Semenjak duduk di kelas 10 dan 11, Cakra terus memenangkan berbagai kompetisi yang ia ikuti dan tidak menunjukkan penurunan satu angka pun pada nilai rapornya. Kekaguman dan dukungan terus-menerus datang dari teman maupun guru. Bahkan di kelas 12, Ia mendapatkan mandat dari guru-gurunya untuk membantu teman-temannya belajar guna menghadapi Ujian Nasional yang menentukan hidup dan mati teman-temannya. Alhasil, Sekolahnya yang selalu berada di peringkat terbawah dalam nilai Ujian Nasional kini meroket ke posisi 5 besar di kabupatennya.
Peluang yang terbuka lebar untuk teman-teman Cakra melanjutkan pendidikan karena mendapat nilai tinggi, namun hal itu tidak berlaku untuk Cakra sendiri. Sekolah unggulan yang disarankan oleh sang guru konseling ternyata meminta biaya yang tidak sedikit untuk bisa hidup dimasuki, sekalipun ia merupakan siswa berprestasi. Sebuah harga yang tidak mampu dibayarkan oleh Cakra bahkan bila harus dibayar dengan bekerja seumur hidup.
Cakra mencoba berbagai cara, entah dengan bekerja lebih keras atau meminta tabungan yang ditinggalkan ayahnya kepada sang ibu. Pada akhirnya, semua permintaannya selalu saja akan berbuntut pada penolakan. Untuk pertama kalinya, Cakra kehilangan harapan setelah hari kebangkitannya. Fisik dan psikis yang lelah setelah dipaksa untuk terus bekerja lebih keras selama satu tahun akhir di masa SMP membuatnya jatuh sakit beberapa hari sebelum acara wisuda.
Di saat ia terbaring lemah di tempat tidurnya, ia membayangkan untuk bisa bersekolah di Jepang. Sebuah tempat yang sangat nyaman dan indah dimana ia bermimpi untuk menghabiskan waktu dengan menulis buku di bawah pohon sakura setelah ia mendapatkan gelar profesor. Lambat laun pemandangan indah itu berubah menjadi langit gelap. Ia mulai merasa bahwa menatap mimpinya sama dengan menatap bintang-bintang di angkasa yang tidak mungkin digapai. Pilihan untuk merelakan mimpi membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak seperti biasa. Tetapi seberapa kuat ia melawan, penat berhasil mengalahkannya dan ia terlelap dalam tidur yang panjang.
Keesokan pagi yang seharusnya ia lakukan sesuai rutinitas hariannya, tiba-tiba dikejutkan oleh ucapan guru konseling yang mengatakan bahwa Dewan Guru mengundang Cakra ke ruang rapat guru di waktu istirahat pertama. Dewan Guru terkenal karena diisi oleh guru-guru senior yang kritis dan identik dengan pendisiplinan siswa. Introspeksi diri yang terjadi sejenak, hingga Ia menyadari bahwa ia merupakan satu-satunya siswa yang belum mengisi preferensi pendidikan selanjutnya yang ditutup pada hari ini. Tak punya pilihan, Cakra hanya bisa berjalan ke arah ruang rapat guru sembari mengontrol kakinya yang gemetar.
Teriakan batin siswa yang terbantai di ruangan ini menggema, meskipun hanya terdengar samar. 5 orang yang akan dihadapi Cakra sudah duduk mengepung Cakra dalam formasi setengah lingkaran. Masalah yang dicemaskan Cakra memang menjadi santapan di dalam rapat tersebut, namun itu hanya sebagai makanan pembuka. Apa yang sebenarnya terjadi adalah para guru yang sepakat untuk membayar seluruh biaya pendidikan Cakra di sekolah unggulan yang ia incar sebagai wujud balas budi kepada Cakra.
Tangis, sujud syukur, dan ucapan terimakasih, hanya itu yang bisa Cakra balas kepada Dewan Guru. Tepuk tangan, sorak sorai, dan ucapan selamat, semua sudah dirancang oleh sekolah dan teman-teman Cakra setelah rapat tersebut. "Hidup Cakra!" Ucapan yang terus digaungkan di sepanjang jalan yang dilalui Cakra. Dengan berbekal niat, kemampuan, dan restu ibu, ia melangkah menuju kehidupan baru di SMA terbaik di provinsi, SMA Tombak Bangsa atau yang sering disebut dengan 'Tomsa'.
Sebelum ia melangkah, guru konseling memberinya wejangan terakhir. "Tomsa adalah lingkungan yang keras, kamu harus teguh dengan paradigma yang kamu pegang sekarang, atau kamu akan mati di sana." Ucap sang guru.
*
Ucapan sang guru ternyata menyiratkan makna yang lebih dalam, SMA Tomsa jauh lebih keras dari yang ia bayangkan. Persaingan bukan hanya tentang satu kursi beasiswa ke Jepang atau akademik, namun juga tentang kekuasaan, uang, dan harga diri. Teman-teman Cakra merupakan orang-orang yang lahir dari keluarga berada. Cakra yang hadir sebagai sosok yang meraih beasiswa dari SMP-nya kerap kali dicap sebagai 'anak miskin yang masuk ke sekolah orang-orang kaya.'
Berpegang pada kemampuan akademiknya yang luar biasa, Cakra mulai menguasai panggung prestasi. Tidak seperti di SMP, kompetisi yang dijunjung tinggi dan siswa-siswa yang berkualitas membuat Cakra dianggap sebagai pesaing yang harus dikalahkan. Beruntungnya, doktrin dari SMA Tomsa adalah mengandalkan kemampuan diri sendiri dalam bersaing, sehingga Cakra tidak perlu terlalu risau dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi.
Dari banyaknya pesaing, hanya satu orang yang mampu mengejar kemampuan Cakra di bidang akademik, Everin. Everin juga menjadi sosok yang paling frontal dan gencar dalam memusuhi Cakra bahkan dengan cara-cara yang tidak benar, Cakra sendiri menyebutnya sebagai 'Iblis'. Keduanya sama-sama mengincar satu kursi beasiswa ke Jepang. Namun, Everin sendiri tidak pernah mampu mengimbangi kepintaran Cakra. Sedari kelas 10, Cakra selalu berada di peringkat satu paralel sedangkan Everin ada di peringkat kedua. Hal itulah yang membuat Everin mulai terbutakan untuk menghalalkan segala cara untuk bisa mengalahkannya.
Di kelas 11, Everin terpilih menjadi ketua OSIS. Menggunakan kekuasaannya, Everin pun merancang sebuah skenario dimana Cakra diangkat menjadi sekretaris OSIS. Perlu waktu bagi Cakra untuk menyadari bahwa posisi yang ia anggap menguntungkan ternyata menjadi sebuah jebakan untuknya. Posisinya membuat Cakra menghabiskan banyak waktu untuk berkutat dengan berbagai dokumen dan proposal. Tidak ada cukup waktu yang tersisa untuk lomba, bahkan waktu belajar dan bekerjanya juga terpotong. Sebaliknya, Everin sebagai ketua OSIS seringkali melimpahkan tugasnya kepada bawahannya, sehingga ia memiliki lebih banyak waktu untuk meraih prestasi akademik.
Satu tahun mengabdi sebagai orang suruhan, Cakra kehilangan kesempatan untuk memperkuat modalnya ke Jepang. Barulah di tahun terakhir Cakra kembali menunjukkan taringnya. Meskipun pada akhirnya, capaian akademiknya tidak akan pernah melampaui Everin. Kini kebohongan menjadi senjata yang digunakan oleh Everin, Cakra kerap kali difitnah dengan berbagai kabar burung seperti Cakra yang menggunakan uang beasiswanya untuk keperluan lain atau Cakra yang bertindak kasar terhadap ibunya di rumah. Berulang kali Cakra dijauhi oleh teman-temannya, berulang kali Cakra dipanggil ke ruang guru untuk memberikan klarifikasi dan berulang kali ia terbukti tidak bersalah. Sekalipun sempat terguncang, Cakra tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Perlahan tabir bahwa Everin yang merencanakan semua sabotase itu mulai terbuka dan ia diskors dari sekolah selama tiga minggu.
Selagi Everin sedang menjalani hukuman, Cakra memiliki kesempatan untuk mengurus persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar beasiswa. Dua bulan lagi pendaftaran beasiswa ke Jepang akan ditutup dua bulan lagi. Tiga minggu yang ada ia gunakan untuk bersiap dan selama tiga minggu itu pula dunia terasa sangat nyaman dan tenteram. Di saat semua persiapan dirasa sudah cukup dan Everin tidak mengetahui manuvernya, Cakra kembali ke kehidupan normalnya.
*
Cakra hanya termenung dengan tatapan kosong ke arah petugas pemadam kebakaran yang mencoba memadamkan api yang membakar kelasnya. Sertifikat kejuaraan, dokumen administrasi, dan berbagai berkas penting untuk beasiswa ikut hangus. Perjuangan jatuh bangun selama ini musnah. Pada akhirnya pupuslah harapan siswa kelas D untuk bisa pergi ke Jepang. Terkecuali Everin, yang nampaknya telah memersiapkan dokumen cadangan, seolah ia sudah mengetahui akan terjadi hal seperti ini. Keyakinan Cakra akan ucapan guru konseling yang begitu kuat membuatnya pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.
Tidak ada perpanjangan untuk pendaftaran beasiswa, artinya hari terakhir pendaftaran sudah bisa dihitung dengan jari tangan. Cakra segera menghubungi setiap panitia dari lomba yang telah ia menangkan untuk meminta sertifikat yang baru. Meskipun tidak semua panitia mengiyakan permintaan Cakra, ia tetap berjuang. Siang malam ia gunakan untuk menyusun ulang semua berkas yang dibutuhkan sekaligus membuat cadangannya. Banyak dukungan datang setelah orang-orang melihat kerja keras Cakra. Pada akhirnya, Cakra tetap berhasil mendaftar beasiswa itu di detik- detik terakhir.
Pertaruhan tentang apakah prestasi yang ia torehkan akan menjadi emas yang berharga atau dokumen sampah yang menunggu untuk dihapus. Penyeleksian yang dilakukan langsung oleh pihak dari Jepang membuat beasiswa menjadi begitu misterius dan keras. Hampir seluruh siswa mencoba mendaftar beasiswa tersebut. Hingga pengumuman peserta yang lolos ke tahap akhir ditempel di papan pengumuman, hanya nama Cakra dan Everin yang tertulis. Cakra tidak sabar untuk memberi tahu hal ini kepada ibu dan adik-adiknya.
Tepat sebelum ia keluar dari gerbang sekolah, salah seorang penyeleksi dari Jepang segera menghampirinya. Ia memberikan sebuah amplop berisi surat kepada Cakra. "Dari atasan kami." Ucap pria itu dalam bahasa Jepang dan segera pergi tanpa berkomentar lagi. Beruntungnya, Cakra sudah mempelajari bahasa Jepang sejak SMP. Hingga kini, kemampuan berbahasa Jepangnya sudah setara dengan orang Jepang asli. Sembari berjalan pulang, ia membaca isi surat itu. Sebuah surat ucapan selamat dan doa agar lolos seperti biasa, namun ada sebuah catatan tulis tangan beraksara kanji di bagian bawah. "Sertifikat, CV, atau jabatan hanya sampah bila tidak ada kemampuan yang mumpuni dan hati yang jernih ~ Nakamoto Kyouji"
*
Sebelum berangkat ke tempat tes wawancara, Cakra meminta do'a restu kepada adik- adiknya dan juga ibunya. Adik-adiknya sangat bergembira mendengar kabar bahwa kakaknya akan pergi ke Jepang. Tak lupa Cakra mengatakan bahwa mereka harus mulai bekerja dan belajar untuk menyambung hidup. Tidak ada raut sedih dari mereka, seolah mereka sudah terbiasa dengan kehidupan yang keras. Cakra beranjak ke kamar ibunya, sang Ibu sedang duduk menghadap jendela. Ia tidak menunjukkan raut wajah yang ceria seperti adik-adiknya dari Sang Ibu. "Ada apa bu?" Cakra bertanya.
"Adik-adikmu." Ucap Sang Ibu yang suaranya sudah begitu lemah.
"Mereka udah aku ajarin hidup mandiri selama ini, mereka bisa ..."
"Ibu nyuruh kamu buat ngelindungin adik-adikmu, kenapa kamu kabur?" Potong Sang Ibu yang tidak pernah berucap dengan suara sekeras ini. "Tapi, aku ..."
"Mereka ga bisa hidup sendiri! Mereka masih SD! Kamu harus ada buat mereka! Siapa yang mau ngelindungin mereka kalau kamu pergi? Ibu? Kamu ga lihat ibu sekarang kayak gimana? Kamu mau jadi seperti ayahmu?"
"Cukup!" Bentak Cakra kepada ibunya. "Kenapa aku yang menjadi ayah? Bukankah ibu sendiri mulai mengikuti ayah dengan mengubur mimpiku dalam-dalam? Menimpakan semua tugas yang seharusnya orang tua tanggung kepada anaknya dan merenggut semua impian anak-anak. Aku sudah lelah bu, kali ini biarkan aku bergerak semauku."
Ibu Cakra tidak bisa berkata apa-apa. Tanpa mendapatkan restu, Cakra berbalik dan meninggalkan ibunya. Sebelum menutup pintu, ia samar-samar mengatakan sebuah kalimat: "Setidaknya, biarkan aku hidup untuk sesaat."
Langkah penuh keyakinan untuk terus maju mengejar bintang. Dengan semua yang telah ia persiapkan selama bertahun-tahun, ia yakin ia bisa melanjutkan pendidikan ke Jepang. Dengan semua keraguan yang telah ia kubur dalam-dalam, ia memasuki medan perang terakhir.
Wawancara berlangsung dan Cakra mampu menjalaninya dengan performa yang luar biasa, keterpukauan juri sudah nampak dari wajah mereka. Ia dan Everin dikumpulkan di sebuah ruang tunggu setelah wawancara. Buah dari perjuangan mereka akan disiarkan melalui speaker yang ada di langit-langit ruangan. Sehingga hanya merekalah yang dapat mendengar hasilnya. Satu jam menunggu dan keluarlah suara gelombang statis yang diikuti dengan siaran suara: "Peraih beasiswa ke Jepang tahun ini adalah: Cakra Hanamta."
Hasil yang selama ini ia tunggu yakni keberhasilannya untuk mendapatkan beasiswa, ia telah menang. Sementara itu, Everin yang telah kalah hanya bisa berlari ke luar ruangan dengan tangis kecewa. Sebuah kemenangan absolut telah didapatkan, namun ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.
Di saat perayaan kemenangan, Cakra terkejut dengan kedatangan tetangganya yang dihadang oleh petugas karena ia mencoba masuk ke ruang tunggu. Cakra segera keluar dan menghampirinya. "Ada apa? Pak." Tanya Cakra yang kemudian diiringi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Cakra segera berlari keluar dan menuju ke rumah dimana ia melihat ibunya yang sudah terbaring tak bernyawa, tertutup oleh kain batik jarik. Ia tidak bisa menahan tangisnya dan segera memeluk ibunya erat-erat, mencoba mengucapkan permintaan maaf sekeras-kerasnya meskipun semuanya sudah terlambat. Cakra menang, namun ada harga mahal yang ternyata harus ia bayar.
Malam penuh duka dan Cakra hanya bisa tabah menerima takdir. Konfirmasi terkait penerimaan beasiswa dilakukan keesokan harinya. Cakra datang ke ruang tunggu yang sama dimana pihak dari Jepang dan kepala sekolah sudah menunggunya. Belum sempat ia duduk, dari luar pintu ia berkata: "Saya menolak beasiswa. Saya mohon beasiswa dialihkan ke peserta lainnya. Terimakasih"
Cakra bergegas pergi tanpa komentar dan segera berlari tanpa arah, tidak memedulikan orang-orang di sana. Semua yang telah ia bangun dihancurkan, bahkan jauh lebih kacau dari wujud awalnya. Tanpa orang tua dan mimpinya telah sirna, ia harus menghidupi ketiga adiknya. Perlahan, langkahnya mulai melambat dan ia terjatuh ke tanah. Menangis, meskipun tidak ada yang bisa mendengar. Seorang pemuda yang harus hidup di dunia yang tidak adil. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menghadapi takdir terburuk. Namun, itulah tugas yang harus ia emban selamanya.
Felsi 2022
Comments